Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Mengapa Hilirisasi Aspal Buton Tidak Masuk Proyek Strategis Nasional?

12 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Aspal. Ilustrasi Pembangunan Jalan
Iklan

Mengabaikan hilirisasi Aspal Buton dari PSN bukanlah kekeliruan teknis semata, itu adalah pilihan politik yang berbiaya mahal bagi kedaulatan.

***

Aspal Buton adalah luka sejarah yang terus berdarah bagi kedaulatan infrastruktur kita. Di saat negara berbicara soal swasembada dan hilirisasi, nama Buton tidak pernah kunjung muncul dalam daftar proyek strategis, sebuah keheningan yang berbicara lebih keras daripada retorika resmi. Ketidakhadiran itu bukan sekadar kesalahan administrasi; ia mencerminkan prioritas politik yang salah arah. Ketika visi pembangunan nasional tidak mengakui potensi lokal, kebijakan menjadi ritual tanpa substansi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secara teknis, aspal alam Buton menawarkan substitusi nyata terhadap aspal minyak impor: cadangan besar, karakter bitumen yang cocok untuk iklim tropis, dan potensi proses hilirisasi yang relatif sederhana dibandingkan industri ekstraktif berat. Namun hilirisasi bukan hanya soal geologi, ia butuh kebijakan industri, insentif fiskal, dan pembiayaan publik yang strategis. Tanpa PSN, proyek-proyek skala pabrik dan fasilitas modifikasi kehilangan akses ke fasilitas percepatan perizinan dan pembiayaan publik. Akibatnya, rantai nilai tidak pernah terbentuk; bahan baku tetap diekspor atau terabaikan.

Salah satu alasan praktis ketiadaan Buton dalam PSN adalah competition for political visibility: PSN sering dipilih bukan semata atas dasar efisiensi ekonomi jangka panjang, tetapi karena nilai politik yang mudah dipajang, jalan tol besar, megaproyek ibu kota, atau industri yang menarik modal besar dan simpati investor asing. Hilirisasi aspal Buton cenderung bersifat desentral dan berorientasi daerah; ia tidak menawarkan momen seremoni nasional yang sama dengan peletakan batu pertama tol raksasa. Politik proyek ini mengutamakan spektakuler, bukan strategis. Akhirnya, pilihan politik mengalahkan logika teknokratik.

Dari sisi ekonomi makro, data konsumsi aspal nasional menunjukkan kebutuhan sekitar 1,1–1,3 juta ton per tahun, sementara produksi lokal dan kapasitas pengolahan aspal Buton jauh di bawah potensi yang ada, akibat lemahnya investasi dan utilitas pabrik yang rendah. Ketergantungan pada impor untuk menutup gap ini telah berlangsung puluhan tahun, menciptakan pasar yang terbiasa mengimpor daripada membangun kapasitas domestik. Jika hilirisasi Buton tidak diprioritaskan pada level PSN, substitusi impor skala nasional menjadi sangat sulit diwujudkan. Tanpa prioritas nasional, pasar tidak akan bergerak secara kolektif menuju kemandirian.

Ada pula faktor kelembagaan dan koordinasi: hilirisasi optimal memerlukan sinkronisasi antar-K/L (Kemenperin, Kementerian PU, Kemenkeu, BKPM) dan dukungan gubernur serta pemda setempat. PSN menyederhanakan koordinasi ini dengan pengaturan prioritas, alokasi anggaran, dan percepatan perizinan. Tanpa status PSN, proyek aspal Buton harus bersaing pada banyak meja yang berbeda, masing-masing dengan kepentingan dan kapasitas terbatas. Hasilnya: fragmentasi kebijakan, birokrasi panjang, dan investasi terhambat. 

Dari perspektif sains material, aspal Buton memiliki kekuatan: stabilitas termal, adhesi baik pada agregat lokal, dan ketahanan terhadap iklim tropis yang lembab. Ini bukan klaim marketing; ini hasil pengujian laboratorium dan studi material jalan yang menunjuk pada durability tinggi bila formulasi dan modifikasi diterapkan dengan benar. Artinya, dari sisi performa teknis, aspal Buton layak dipakai luas, bahkan dapat memperpanjang umur jalan dan menurunkan life cycle cost. Hambatannya bukan ilmiah, melainkan struktural dan kebijakan.

Ekonomi politik juga menjelaskan mengapa proyek hilirisasi tertentu “lebih laku”: lobby korporasi besar, kapasitas modal besar, dan peluang profit jangka pendek mempengaruhi pilihan prioritas. Hilirisasi aspal Buton, yang butuh keberpihakan pro-daerah dan skema subsidi awal, tidak punya lobby kelas atas yang sama; sehingga kalah dalam perlombaan prioritas. Ketika kebijakan dikuasai oleh jaringan kepentingan, proyek berorientasi nasional yang membutuhkan pemberdayaan daerah menjadi korban. Ini adalah kegagalan tata kelola moral dan politik.

Dari sisi pembiayaan, bank dan investor swasta cenderung menghindari sektor yang memerlukan jangka waktu pengembalian lebih panjang dan risiko pasar yang berubah, kondisi yang melekat pada transisi substitusi impor. Status PSN mengurangi risiko ini karena memberi akses ke fasilitas pembiayaan pemerintah, jaminan, dan pengadaan publik. Tanpa lighthouse PSN, proyek aspal Buton sering tidak memenuhi kriteria bank untuk kredit infrastruktur. Investor menunggu kepastian yang hanya bisa diberikan oleh kebijakan prioritas nasional.

Risiko teknologi juga sering dijadikan alibi: klaim bahwa teknologi pengolahan aspal lokal belum siap atau tidak kompetitif sering dipakai untuk menunda keputusan. Padahal ada bukti riset dan pilot plant yang menunjukkan teknologi ekstraksi dan modifikasi aspal Buton sudah mungkin dikomersialkan bila didukung studi komersial dan capex awal. Menjadikan “kesiapan teknologi” sebagai alasan untuk tidak bertindak adalah modus penundaan yang mematikan. Kebijakan yang bertumpu pada alasan teknis tanpa roadmap investasi adalah bentuk pengabaian terencana.

Dampak lingkungan sering dipakai sebagai kontra-narasi, argumentasi yang sah bila benar diterapkan, tetapi juga mudah diselewengkan untuk menutupi ketidaksungguhan. Hilirisasi aspal Buton sebenarnya bisa dirancang ramah lingkungan: fasilitas dekat tambang, pemanfaatan energi terbarukan untuk proses, dan pengelolaan limbah yang terstandar. Ketika isu lingkungan dipolitisasi tanpa kajian mendalam, ia menjadi alat untuk menenggelamkan proposal pemberdayaan daerah. Ini memperlihatkan betapa argumen ilmiah kerap dipolitisasi.

Ketidakhadiran Buton dalam PSN juga berdampak sistemik terhadap target swasembada 2030: tanpa dukungan kebijakan pusat, target substitusi impor akan sulit tercapai, dan biaya fiskal untuk menutup kebutuhan aspal akan terus merembes keluar negeri. Target ambisius menjadi angka di atas kertas ketika tidak ada instrumen kebijakan yang menyelaraskan permintaan publik (Kementerian PU) dengan pasokan domestik (Buton). Dengan kata lain, kegagalan memasukkan Buton ke PSN adalah pengkhianatan terhadap target nasional swasembada itu sendiri.

Ada juga dimensi sosial-kultural: masyarakat Buton dan pekerja lokal yang menaruh harapan pada hilirisasi menjadi korban janji politik tanpa realisasi. Ketika sentimen lokal dikecewakan berkali-kali, muncul apatisme, migrasi tenaga kerja, dan kerentanan ekonomi daerah. Pembangunan yang tidak inklusif menciptakan ketimpangan wilayah yang bertahan lama dan menimbulkan masalah politik baru. Itulah alasan moral mengapa prioritas nasional seharusnya memperhitungkan aspirasi daerah penghasil.

Solusi teknis dan kebijakan jelas: masukkan hilirisasi aspal Buton ke daftar prioritas terpadu, berikan status strategis, skema insentif fiskal, fasilitas pembiayaan, dan pengadaan pemerintah yang menjamin pasar awal. Sertakan roadmap R&D untuk modifikasi aspal (SBS, crumb rubber, eco-modifier) agar produk akhir memenuhi standar performance modern. Integrasi supply chain, jaminan offtake oleh PU, dan sinergi BUMN/SWASTA bisa memecahkan hambatan pendanaan dan pasar. Tanpa langkah-langkah konkret ini, Buton akan tetap menjadi potensi yang tidak tersentuh.

Ilmiah sekaligus etis, pertanyaan terbesar adalah: apakah bangsa ini ingin membangun kemandirian atau sekadar menuliskan kata itu di dokumen rencana? Jika jawabannya serius, kebijakan harus berubah dari simbolik menjadi instrumen. Prioritas PSN adalah salah satu instrumen paling efektif untuk memaksa koordinasi dan alokasi sumber daya publik. Mengabaikannya berarti memilih ketergantungan sebagai strategi pembangunan.

Kesimpulannya, menghapus atau mengabaikan hilirisasi Aspal Buton dari PSN bukanlah kekeliruan teknis semata, tu adalah pilihan politik yang berbiaya mahal bagi kedaulatan ekonomi, keadilan regional, dan target swasembada 2030. Pilihan ini memperlihatkan kelemahan tata kelola, bias kepentingan, dan kegagalan menyelaraskan ilmu dengan kebijakan publik. Jika negara masih menaruh harap pada retorika tanpa prioritas nyata, jalan menuju swasembada aspal akan terus buntu. Waktu menyatakan: Buton menunggu keputusan yang berani, bukan sekadar alasan.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler